Urgensi Agama dalam Kehidupan Remaja
Pembinaan mental seseorang dimulai sejak ia kecil. Semua pengalaman
yang dilalui baik yang disadari atau tidak, ikut mempengaruhi dan
menjadi unsur-unsur yang bergabung dalam kepribadian seseorang. Diantara
unsur-unsur terpenting tersebut yang akan menentukan corak kepribadian
seseorang dikemudian hari ialah nilai-nilai yang diambil dari
lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Nilai-nilai yang dimaksud
adalah nilai-nilai agama, moral dan sosial. Apabila dalam pengalaman
waktu kecil itu banyak didapat nilai-nilai agama, maka kepribadiannya
akan mempunyai unsur-unsur yang baik. Demikian sebaliknya, jika
nilai-nilai yang diterimanya itu jauh dari agama maka unsur-unsur
kepribadiannya akan jauh pula dari agama dan relatif mudah goncang.
Karena nilai-nilai positif yang tetap dan tidak berubah-ubah sepanjang
zaman adalah nilai-nilai agama, sedang nilai-nilai sosial dan moral yang
didasarkan pada selain agama akan sering mengalami perubahan, sesuai
dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Karena itulah maka mental
(kepribadian) yang hanya terbina dari nilai-nilai sosial dan moral yang
mungkin berubah dan goyah itu, akan membawa kepada kegoncangan jiwa
apabila tidak diimbangi dengan nilai keagamaan.
Anselm von Feurbach, seorang ahli hukum terkenal pernah mengatakan: “Agama dalam bentuk apapun dia muncul tetap merupakan kebutuhan ideal umat manusia.”
Masa remaja adalah usia transisi dari masa kanak-kanak menuju masa
kematangan dewasa. Kematangan dewasa secara psikologis adalah
keberhasilan seseorang dalam mencapai a sense of responsibility serta dalam memiliki filsafat hidup yang mantap. Salah satu materi yang pokok sebagai pengisi filsafat hidup adalah agama.1 Agama bagi remaja memiliki fungsi yang sangat penting yaitu untuk penenang jiwa. Pada masa adolesen
(antara 13-21 tahun) seorang individu sedang mengalami masa kegoncangan
jiwa. Dalam periode ini mereka digelisahkan oleh perasaan-perasaan yang
ingin melawan dan menentang orang tua, Kadang-kadang merasa mulai
muncul dorongan seks yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan.
Disamping itu mereka sering gelisah karena takut gagal, merasa kurang
serasi dalam pertumbuhan dan sebagainya. Segala macam gelombang itu akan
menyebabkan mereka menderita dan kebingungan. Dalam keadaan seperti itu
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan penolong yang sangat
ampuh untuk mengembalikan ketenangan dan keseimbangan jiwanya.
Diantara faktor-faktor yang menambah
besarnya kebutuhan remaja pada agama adalah perasaan berdosa yang sering
terjadi pada masa ini. Seperti keadaan tidak berdaya dalam menghadapi
dorongan atau hasrat seksuil, konflik dengan orang tua yang dianggap
terlalu mencampuri kehidupan pribadinya, keinginan kuat untuk mandiri
namun ketika dihadapkan pada kenyataan dan kesulitan hidup yang
merupakan konsekuensi logis dari keinginan mandiri tersebut si remaja
menjadi goyah dan setumpuk masalah lain termasuk masalah pergaulan
sesama remaja serta upaya adaptasinya secara lebih mempribadi dengan
lingkungan sekitar. Semua itu baik secara langsung maupun tidak langsung
akan me’maksa’ remaja untuk mencari bantuan diluar dirinya berupa suatu
kekuatan yang diyakini mampu menolong dirinya manakala ia tidak sanggup
lagi bertahan. Untuk itu ia akan memerlukan kepercayaan yang
sungguh-sungguh kepada Tuhan, sehingga bantuan luar yang diharapkannya
tidak menyesatkan dan menggoyahkan pertumbuhan mentalnya.2
Jika sedari kecil si remaja yang goncang itu tidak pernah menerima
didikan agama maka boleh jadi ia akan mencari pegangan dengan datang ke
dukun-dukun atau yang lebih bahaya membiarkan dan menjerumuskan dirinya
sendiri dalam lingkaran pergaulan yang tidak sehat. Kenakalan-kenakalan
remaja yang mengejala belakangan ini merupakan contoh konkret dari
fenomena remaja yang kehilangan pegangan hidup.
Akhirnya dapat kita tegaskan bahwa agama dan keyakinan yang
sungguh-sungguh kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah kebutuhan jiwa yang
pokok, yang dapat memberikan bantuan bagi remaja dalam upaya membebaskan
dirinya dari gejolak jiwa yang sedang menghebat dan menolongnya dalam
menghadapi dorongan-dorongan seksuil yang baru saja tumbuh. Remaja
sebenarnya takut akan siksaan batin dan konflik jiwa yang kurang jelas
sebab musababnya itu. Pertanyaan berikutnya yang penting untuk
dibicarakan disini adalah bagaimana upaya dan peran pendidikan Agama di
sekolah untuk memperkenalkan agama dan menanamkan rasa keberagamaan yang
tepat serta yang dapat diterima oleh nalar dan nurani remaja itu
sendiri?
Pendidikan Agama di Sekolah dan Pembinaan Mental Remaja
Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media
ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan
agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan
mental. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam
agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran
sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar,
datangnya dari keyakinan beragama. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk
dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan
dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini, pendidikan
agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak
sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja.
Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada
perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan
moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai sikap
keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada usia remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth,
kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul,
kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam
mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi
jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau
indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan
terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar
permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket
materi pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi
untuk mendalami agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi
ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang memberikan
aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu
mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall,
ngeceng, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang
melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau
ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus
keterampilan.
Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama
sebagai tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta
didiknya. Mampukah ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta
metodologi yang dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta
didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam mengembangkan sikap
keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang
mengatur seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer
yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja
tersebut merasakan ibadah sebagai perwujudan sikap keberagamaan
intrinsik tersebut sama pentingnya atau malah lebih penting dibanding
nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain sebagainya.
Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru
Agama di sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di
sekolah hendaknya selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang
guru Agama harus bisa menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia
sampaikan bukan demi kepentingan sekolah (kurikulum) atau kepentingan
guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu sendiri. Karenanya
pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak diperlukan oleh
para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa dekat
dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar
mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun
harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem
pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan
sangar (karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk
kemudian diganti dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan
pada penghayatan dan kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja
dilakukan baik dengan mengajak peserta didik bersama-sama mengadakan
ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna ibadah) atau mengajak
peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan masyarakat kecil
sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan penderitaan
yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan rasa
solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau
mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang
terdapat dalam materi pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur
keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah
dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik)
di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur
tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA:
- Dr. Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, Cet. VII, 1983.
- Drs. H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila, Penerbit Sinar Baru, Bandung, Cet. II, 1991.
- Drs. Jalaluddin Rahmat Msc, Islam Alternatif, Penerbit Mizan, Bandung, Cet. I, 1986.
- Makalah-makalah Ibu Dra. Susilaningsih MA (dosen Mata Kuliah Psikologi Agama di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
1 Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Remaja, makalah Dra. Susilaningsih MA, hlm 1
2 Dr. Zakiyah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1983, hlm 90-91
Sumber: http://izaskia.wordpress.com/2010/05/16/peranan-pendidikan-agama-di-sekolah-dalam-pembinaan-mental-spirituil-remaja-tinjauan-psikologi-agama/
Posting Komentar